Sebenarnya ada beberapa hal yang patut 
dikritisi dari kebijakan-kebijakan diatas. Pertama kebijakan sertifikat 
PPG sebagai salah satu syarat CPNS harus diimplementasikan dengan lebih 
bijak. Sebenarnya tujuannya baik dengan melakukan penyaringan guru CPNS 
yang berkualitas, guru-guru dianggap profesional setelah mendapatkan 
pengakuan melalui sertifikat PPG. Hal tersebut diilhami dari kebijakan 
untuk menjadi dokter PNS harus mengikuti pendidikan profesi dokter 
sebelum ia bisa diangkat menjadi PNS. Tapi ada yang perlu dikritisi dari
 program pendidikan profesi untuk guru dan calon guru. Berdasarkan 
informasi dari dosen saya untuk menempuh pendidikan profesi harus 
membayar dengan jumlah yang cukup besar, kurang lebih 10juta. Sungguh 
bukan jumlah yang kecil!ini seperti menyogok menjadi PNS! Contoh kecil, 
ialah ketika seseorang baru lulus S1, ada kesempatan menjadi PNS tapi 
dikarenakan ia belum mampu menempuh PPG karena biaya yang besar, ia 
bertahan menjadi guru GTT. Jika ia menunggu dengan mengumpulkan uang 
sebagai GTT, pertanyaan saya mau sampai kapan? Berapa sih gaji seorang 
GTT? Apalagi PPG tidak dilaksanakan setiap tahun. Maka hilanglah 
kesempatannya. Berbeda dengan seseorang yang memiliki latar belakang 
keluarga kaya, orang tua bisa dengan mudahnya membiayai PPG tersebut. 
Padahal belum tentu yang kaya lebih berkualitas. Lagi pula yang namanya 
PPG kan untuk meningkatkan kualitas guru, jika tujuannya demikian kenapa
 diberatkan dengan beban biaya yang tidak sedikit? Maka hal ini tidak 
lebih sebagai “sogokan”, yang kaya yang PPG. Memang ada program SM-3T, 
dimana calon guru/guru yang mengikuti program tersebut kelak bisa 
mendapatkan PPG secara gratis tapi kuota SM-3T itu terbatas. Ingin 
mengikuti PPG saja pengorbanannya besar, belum nanti masih seleksi PNS 
dan tuntutan yang semakin berat menjadi guru. Pastinya akan semakin 
banyak kesejahteraaan guru yang mengantung.
Kedua, para sarjana non-pendidikan bisa 
menjadi guru hanya dengan satu tahun mengikuti PPG. Saya bilang ini 
sebuah ketidakadilan dan kebijakan yang tidak esensial dengan hakekat 
profesi guru. Hakekat seorang guru bukan hanya sekedar mengajar tapi 
mendidik, menguasai empat kompetensi (pedagogik, sosial, personal, dan 
profesional). Seorang sarjana pendidikan harus menempuh 4 tahun untuk 
menguasai 4 kompetensi tersebut, itu saja masih perlu diasah dan 
belajar. Bagaimana mungkin hanya dengan 1 tahun PPG para sarjana ilmu 
murni “pantas” dibandingkan dengan sarjana pendidikan? Lalu apa arti 
sarjana pendidikan dan buat apa ada jurusan kependidikan? Ini bukan soal
 sarjana pendidikan tidak mampu bersaing tapi lebih pada hakekat 
pendidikan. Seorang guru tidak hanya dituntut bisa mengajar tapi 
mendidik, mendidik dan dan mengajar adalah dua hal yang berbeda. Semua 
orang bisa mengajar, asal ada buku panduan, tapi tidak semua orang bisa 
mendidik. Saya akui secara ilmu/materi pelajaran mungkin sarjana 
non-kependidikan, ilmunya lebih mendalam tapi apa mereka tahu bagaimana 
membuat Rencana pelaksanaa pembelajaran, mengunakan pembelajaran yang 
tripel multi (multi media, sumber, dan metode), pembelajaran inovatif, 
karakteristik perkembangan peserta didik, memahami hakikat sebagai 
seorang guru ialah pendidik bukan pengajar yang hanya mentransfer ilmu 
tapi motivator, fasilitator, dan transformator. Pendidik bukan hanya 
mengemban tugas menjadikan peserta didik yang cerda, juga berkarakter. 
Jika sarjana pendidikan harus memahami hal-hal tersebut selama 4 tahun, 
apa adil mereka sarjana non-kependidikan dengan PPG 1 tahun pantas 
disebut sebagai guru? Jika alasan pemerintah adalah kualitas sarjana 
pendidikan, maka PPG merupakan jalan yang seharusnya memperbaiki 
kekurangan yang ada, bukan meragukan kualitas sarjana kependidikan di 
negeri sendiri. Karena banyak fakta dilapangan banyak guru yang pandai 
dalam penguasan materi tapi ia kurang “pandai” dalam pembelajaran 
sehingga banyak murid merasa tidak mendapatkan ilmunya. Jika kebijakan 
ini tidak dikritisi lagi, apa bedanya PPG dengan akta 4? Guru-guru 
diangkat dari sarjana ilmu murni yang tidak tahu hakekat pendidikan itu 
sendiri. Hanya judulnya yang beda tapi esensinya hampir sama.
Ada wacana bahwa guru-guru yang lulus PPG 
kelak jika menjadi PNS akan secara langsung mendapat tunjangan 
sertifikasi (baca: gaji doble). Lagi-lagi kebijakan yang justru memicu 
“penyimpangan”. Adanya wacana tersebut memicu persaingan yang ketat 
untuk mengkuti PPG dan menjadi PNS, maka tidak dipungkiri 
penyimpangan-penyimpangan besar kemungkinan terjadi. Seperti yang 
sudah-sudah KKN (kolisi, korupsi dan nepotisme), pastinya sudah banyak 
yang mendengar “PNS jalur uang” alias nyogok. Ketika uang berbicara, judulnya!
 Seharusnya pemerintah bisa menempatkan 
kebijakan ini ditempat yang seharusnya. Bolehlah untuk mengikuti PPG 
harus mengeluarkan pengorbanan tapi bijaknya biayanya jangan sebesar 
itu. Yang kedua, kembali pada hakekat PPG sebagai sarana meningkatkan 
kualitas guru bukan meragukan potensi guru maupun calon guru (sarjana 
pendidikan). Para sarjana pendidikan ditempa selama 4 tahun bukan hanya 
untuk sekedar menguasai materi tapi mereka dituntut menjadi pendidik 
yang profesional dan berkarakter, bagaimana mendidik peserta didik 
sesuai tingkat perkembangannya. Jelas sarjana ilmu murni tidak bisa 
dibandingkan dengan sarjana pendidikan untuk menjadi seorang guru. Ada 
banyak pembanding jika dikupas satu persatu yang mana sarjana pendidikan
 tidak bisa digantikan posisinya dan disetarakan denga sarjana 
non-kependidikan.
sumber : http://ppg-pgsd.blogspot.com/2012/09/opini-pendidikan-profesi-guru-ppg-dan.html
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar